Setiap kali memasuki sebuah toko sepatu, tentu bukan perkara sulit bagi kita untuk bisa mengidentifikasi yang mana produk Nike, Adidas, Puma, Converse, atau Vans di antara barisan sepatu yang dipajang atau bahkan di tumpukan sepatu obralan. Tentu saja yang membantu kita dapat mengenali dari produk mana sepatu itu berasal berkat logo yang terpampang.
Logo bagi sebuah perusahaan atau merek memang tak ubahnya identitas agar mudah dikenali oleh target pasar, terutama konsumen loyal. Tapi, apakah fungsi logo memang hanya sesederhana itu; tak lain agar konsumen lebih mudah mengenali sebuah produk dari merek atau perusahaan tertentu?
Kalaupun fungsi sebuah logo tak lebih daripada identitas semata agar konsumen bisa membedakan dengan kompetitor, barangkali perusahaan dan merek di berbagai belahan dunia lebih memilih membuat logonya sendiri sesuai selera daripada harus menggunakan konsultan dan membayar mahal. Seperti perusahaan minyak dan energi British Petroleum (BP) yang harus menebus US$ 211 juta atau setara Rp 2,5 triliun untuk bisa mengubah logonya menjadi baru pada 2008 lalu.
Di Indonesia pun terdapat dua perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang harus membayar mahal untuk bisa mengubah logonya menjadi baru. Pada 2005 lalu, Pertamina harus merogoh kocek hingga US$ 255 ribu atau setara Rp 2,55 miliar untuk mendapatkan logo barunya yang dipakai hingga saat ini. Sementara Bank Mandiri perlu mengeluarkan Rp 15 miliar untuk berkonsultasi dan menyegarkan logo pada 2008 silam.
Lantas, apa memang perlu semahal itu hanya untuk mendapatkan sebuah logo?
Mengubah apalagi membuat logo sebenarnya tak sesederhana mengganti baju lama dengan baju baru. Karena mengubah apalagi membuat logo berhubungan langsung dengan identitas perusahaan seluruhnya. Wakil Dekan 4 Fakultas Seni Rupa di Institut Kesenian Jakarta (IKJ), Aditya Yoga bahkan menyebut bahwa perusahaan yang mengubah logo sudah pasti telah lebih dulu memutuskan mengubah perusahaan secara keseluruhan.
“Karena logo itu bukan branding. Logo hanya bagian kecil dari branding. Mungkin hanya 10 persen. Tapi keseluruhannya adalah branding dari etos kerjanya, dari bagaimana mereka mengucapkan (sapa) di telponnya yang berubah, dari ada istilah ‘Pasti Pas’. Itu adalah keseluruhan yang dibayar oleh Pertamina,” terang Yoga kepada Berempat.com di awal Agustus.
Bagi Yoga, membuat logo bukanlah pekerjaan yang bisa disebut ‘hanya sekedar’. Sebab logo merupakan representatif dari visi-misi perusahaan ke depan, tentang budaya kerja perusahaan, etos kerja, target pasar, dan segalanya yang berhubungan. Apalagi, menurut Yoga, seorang desainer logo dituntut untuk bisa memahami fungsi logo itu sendiri secara dua sisi.
sumber: https://kumparan.com/bibia-indonesia/yang-mahal-dari-sebuah-logo-dan-pentingnya-bagi-perusahaan-1534297053423146376